Punk: Lebih dari Sekadar Musik

Melihat sisi lain dari punk yang kerap kali dipandang negatif

Qaulan M. Indra
9 min readMay 29, 2021
Sumber: Ilustrasi seorang pemuda punk

Sering kali ketika kita mendengar kata punk, banyak asosiasi negatif yang terlintas di dalam pikiran kita. Anarkis, berisik, tidak tahu aturan, nyentrik, jalanan, adalah sekian dari banyaknya asosiasi negatif yang mungkin terlintas dalam pikiran kita.

Di balik asosiasi-asosiasi negatif yang mungkin terlintas di benak kita ketika kita memikirkannya, subkultur punk memiliki sejarah di balik gerakannya. Sebuah gerakan yang memiliki banyak arti terhadap beberapa orang.

Beberapa dari kita mungkin mengenal punk sebagai aliran musik. Aliran musik yang identik dengan iramanya yang cepat, penuh dengan teriakan, dan nada yang terdistorsi. Mungkin juga kita mengenal beberapa band punk yang cukup terkenal hingga saat ini, seperti Sex Pistols, Green Day, The Clash, dan lainnya.

Sekilas, memang gerakan punk terdengar sangat menarik untuk dipelajari lebih lanjut. Mengapa punk terasosiasi dengan keonaran? Apa yang dicari oleh para punk? Bagaimana bermulanya gerakan punk itu sendiri? Dalam esai ini kita akan melihat sisi lain dari punk, lebih dari musik maupun asosiasi-asosiasi yang terdapat di dalamnya.

Bukankah Punk Telah Mati?

Punk, apakah sudah mati? Terdapat banyak perkataan populer di tengah penikmat musik maupun budaya pop bahwa punk telah mati, jauh sebelum tahun delapan puluhan (Sabin, 2002: 2).

Hal ini juga diperkuat dengan kenyataan bahwa gerakan punk semakin dikomersialisasi, suatu hal yang ditentang oleh gerakan punk. Tentunya tidak semua orang setuju dengan anggapan ini, karena definisi dari punk sendiri mungkin berbeda dari individu ke individu lainnya.

Beberapa orang menganggap punk sebagai estetika berpakaian, beberapa lainnya menganggap punk sebagai gerakan anti komersialisasi musik, atau gerakan anti-status quo, dan bahkan bagi beberapa orang, pengamalan punk dapat bersifat politis (Hannerz, 2016: 2)

Memang tepat apabila kita katakan punk bukan merupakan bagian dari budaya populer yang berkembang di masyarakat saat ini. Menurut Mukerji (dalam Adi, 2011: 10), budaya populer adalah budaya yang diterima oleh masyarakat luas yang ditandai dengan objek yang dihasilkan oleh pusat komersial maupun politis. Bagaimanapun, manifestasi akan ide-ide punk akan tetap hidup dalam sebagian masyarakat.

Jadi… Apa Itu Punk? Apa Itu Subkultur?

Jika memang setiap orang memiliki aktualisasi dan perspektif berbeda terhadap punk, lalu apa yang membuat punk, punk? Dapat dikatakan bahwa konsep punk berbentuk amorf. Punk dapat dimanifestasikan secara fisik maupun nonfisik.

Terdapat beberapa karakteristik yang khas dari gerakan punk, yakni pemberontakan kaum muda dan juga sebuah pernyataan artistik. Gerakan punk sendiri memiliki kejayaanya pada tahun 1976–1979 di Amerika Serikat dan juga Inggris (Sabin, 2002: 2).

Utamanya, punk memanifestasikan ide-idenya melalui musik. Tidak seperti gerakan subkultur hippy yang memiliki agenda, gerakan punk tidak memiliki agenda khusus. Namun, terdapat beberapa nilai yang dipegang oleh para punk, seperti menitikberatkan negosiasi (kebalikan dari nihilisme), kesadaran akan politik kelas dengan yang menitikberatkan kredibilitas kaum pekerja, spontanitas, dan budaya do it yourself (Ibid, 3).

Sumber: Ilustrasi pemuda-pemudi hippie di konser Woodstock (1969)

Jika ditinjau dari sisi etimologis, punk adalah singkatan dari Public United not Kingdom, jika diterjemahkan secara harfiah berarti ‘kesatuan pubilk bukan kerajaan’, dalam konteks ini mengacu pada kesatuan masyarakat di luar kerajaan Inggris (Firmansah, 2013).

Di dalam tulisan dijelaskan bahwa punk merupakan bagian dari sebuah subkultur. Lantas, apa yang dimaksud dengan subkultur? Menurut budayawan Fitrah Hamdani (dalam Tammaka, 2007: 164), subkultur adalah sekelompok orang yang memiliki kepercayaan dan perilaku yang berbeda dengan kebudayaan induk mereka.

Sejarah Singkat

Secara historis, gerakan punk dimulai sekitar tahun 1975 di Amerika Serikat dan Inggris. Di New York, lahirlah sebuah generasi pemberontak intelektual, seperti penyair Patti Smith, musisi Richard Hell, dan Tom Verlaine. Mereka berkarya untuk melawan kaum-kaum borjuis. Salah satu pionir band punk pertama di Amerika Serikat adalah Ramones. Di sisi lain, lahir The Sex Pistols di London.

Sumber: Ramones di kota New York (1981)

Pada mulanya, gerakan punk berdiri atas kemarahan yang terakumulasi atas komodifikasi rock and roll dan juga gerakan perlawanan atas gerakan hippie (Cullen, 1996: 249), punk secara terang-terangan menolak tradisi dan kekuasaan yang ada.

Secara umum disetujui bahwa gerakan punk bermula dari Amerika Serikat dan Inggris. Namun, konteks dan sejarah gerakan punk dari kedua negara ini memiliki perbedaan. Di Amerika Serikat, awal dari gerakan punk bermula atas rasa jenuh kaum muda kelas menengah terhadap budaya mainstream pada saat itu. Sebaliknya, di Inggris, gerakan punk bermula atas kehancuran ekonomi, peningkatan pengangguran, kemunafikan kaum borjuis, dan juga keengganan akan reformasi yang dimulai oleh kaum muda kelas pekerja (Henry, 1989: 69).

Karena punk sangat dekat dengan pemuda kelas pekerja, banyak yang berpendapat bahwa gerakan punk memiliki kredensial gerakan politik kiri yang cukup signifikan. Pada saat itu gerakan anarkisme juga sering dikaitkan dengan gerakan punk. Sebuah studi dilakukan di daerah metropolitan besar di tenggara Amerika Serikat yang menunjukkan bahwa gerakan punk diikuti oleh individu-individu dengan beragam latar belakang, tetapi didominasi oleh individu kelas menengah kebawah, agnostik atau ateis, dan condong kiri dalam politik (Williams, 2016).

Sebagai gerakan yang menentang status quo, gerakan punk juga dianggap sebagai gerakan liberasi bagi kaum-kaum yang termarjinalkan pada saat itu untuk bersuara, seperti perempuan, gay, lesbian, dan kaum anti rasisme (Sabin, 2002: 4)

Sumber: Ilustrasi perempuan punk

Walaupun gerakan punk telah menjadi saluran suara beberapa kaum termarjinalkan pada saat itu dan juga dianggap sebagai gerakan yang cukup feminis dan libertarian pada awalnya, banyak perempuan yang terlibat di dalam gerakan punk merasa bahwa di dalam gerakan punk sendiri masih terdapat ketimpangan gender. Gerakan punk masih didominasi oleh laki-laki dan maskulinitas. Gerakan punk diketahui sebagai gerakan yang asertif dan juga dominatif terhadap feminitas (Leblanc, 1999: 7).

Beberapa band punk yang terbentuk pertama kali adalah The Damned, Siouxsie and The Banshees, Chelsea, Generation X, Subway Sect, The Clash, Buzzcocks, Penetration, Ramones, Television, Richard Hell and The Voidoids, Blondie, dan Talking Head. Kebanyakan dari band punk ini berasal dari Inggris dan Amerika Serikat.

Punk Sebagai Ideologi dan Manifestasi Ide

Telah disinggung sebelumnya bahwa demografis dari gerakan punk didominasi oleh laki-laki, masyarakat kelas menengah dan pekerja, kaum muda, dan juga penentang status quo. Lantas, apakah terdapat suatu ideologi umum yang disetujui oleh para demografis punk ini?

Sebuah studi yang dilaksanakan di kota-kota besar di tenggara Amerika Serikat menunjukkan bahwa terdapat beberapa karakteristik umum akan ideologi dan juga manifestasi ide yang diaktualisasikan oleh para punk. Penolakan, refleksivitas, dan aktualisasi diri adalah beberapa kata yang mendeskripsikan para punk tersebut (William, 2016).

Beberapa studi akademik lain berpendapat bahwa gerakan punk adalah gerakan yang menentang budaya dominan di masyarakat. Namun, beberapa akademisi lain mengutarakan bahwa terdapat sesuatu yang kabur dalam resistensi punk, contohnya kurangnya kesadaran akan resistensi itu sendiri dan gerakan tersebut hanya berakar pada konseptualisasi anti-establishment dan juga anarkisme yang kabur (Ibid).

Para punk yang diwawancarai juga mengutarakan bahwa mereka menolak konsumerisme. Mereka juga setuju atas gerakan pembelajaran atas enkulturasi. Narasumber-narasumber lain berpendapat bahwa gerakan punk adalah gerakan skeptisme akan semua hal, gerakan penolakan tekanan dan norma sosial, dan juga gerakan yang menolak kekuasaan (Ibid).

Asosiasi akan Punk

Tentunya sebagai sebuah gerakan, akan terdapat banyak asosiasi yang dikaitkan ke dalamnya. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu band punk awal, Ramones, menggunakan jaket kulit hitam, kacamata gelap, dan jeans, mendekati estetika streetwear.

Punk juga sering diasosiasikan dengan gaya rambut mohawk, tato, atau tindikan. Punk juga terkadang diasosiasikan dengan pemberontakan, keonaran, dan non-konformitas, tetapi banyak dari para punk setuju bahwa hal tersebut adalah oversimplifikasi dan juga generalisasi akan punk.

Sumber: Ilustrasi pemuda punk

Punk di Indonesia

Walaupun gerakan subkultur punk dapat dikatakan cukup serupa di berbagai belahan dunia, tentunya gerakan tersebut dapat memiliki konteks yang berbeda dari negara ke negara.

Punk di Indonesia memiliki keunikan sendiri. Setidaknya, subkultur punk baru memasuki Indonesia pada tahun 1990, diikuti dengan kedatangan televisi dan tour band-band punk ke Indonesia (Pickles dalam Hannerz, 2016: 6)

Sumber: A Punk Daydream oleh Jimmy Hendrickx (2019)

Di Indonesia sendiri, kota yang identik dengan komunitas punk adalah Kota Bandung. Para punk tersebut biasanya dapat dilihat di jalanan dengan pakaian yang nyentrik, jaket duri, rambut mohawk, celana robek, dan melakukan berbagai macam aktivitas di jalanan, salah satunya adalah mengamen dan bernyanyi. Hal tersebut mungkin dikarenakan oleh tingginya permasalahan anak jalanan di Bandung.

Pada awal masuknya subkultur punk ke tanah air, perkembangan dari subkultur tersebut tidak lain hanya berkutat di bidang mode dan musik. Pada saat itu, punk adalah subkultur dinamis dan eksperimental yang membawa pesan pemberontakan secara visual, tetapi tidak dapat dianggap sebagai persatuan kolektif yang membawa budaya perlawanan dengan tujuan-tujuan kolektif.

Anggota yang merupakan bagian dari gerakan punk kerap kali dianggap sebagai tukang kritik melalui pesan yang dibawakan oleh lagu-lagunya dan perusuh melalui aksi-aksi egalitariannya (Nando, 2008: 5).

Pendapat Akademisi akan Sikap dan Aktualisasi Subkultur Punk Secara Sosiologis

Sikap yang terdapat di dalam skenario punk merefleksikan beberapa pendapat yang telah didiskusikan oleh beberapa akademisi seperti Taylor (1992), Boyle (2004), dan Turner (1976).

Taylor berpendapat bahwa moral masyarakat kontemporer yang berorientasi terhadap pengeksplorasian diri (self discovery) dapat termanifestasikan melalui kreasi dan konstruksi, serta orisinalitas dan penolakan akan aturan yang terdapat di masyarakat.

Boyle memiliki poin-poin yang serupa dengan Taylor, yang mana ia berpendapat bahwa aktualisasi orisinalitas seorang individu dapat dimanifestasikan melalui oposisi terhadap ketidaksemangatan dan juga produksi massal.

Sementara itu, Turner mengutarakan sisi sosio-psikologisnya, dimana ia berpendapat bahwa rasa impulsif yang terdapat pada individu datang dari sendiri, bukan dari tindakan konformitas terhadap masyarakat luas.

Struktur subkultur punk sesuai dengan bagaimana para akademisi-akademisi ini mendeskripsikannya.

Kesimpulan

Seperti gerakan-gerakan subkultur lainnya, gerakan punk memiliki sejarah dan juga perkembangan yang sangat menarik. Gerakan yang berawal dari Amerika Serikat dan Inggris sebagai perlawanan kaum pekerja dan kelas menengah terhadap kondisi ekonomi maupun gerakan atas kejenuhan kaum muda atas budaya mainstream.

Di balik sejarahnya yang menarik, gerakan punk diaktualisasikan dengan cara yang sangat berbeda dari setiap individu. Setiap individu pun bahkan memiliki konsep yang berbeda atas punk.

Walaupun tiap individu memiliki aktualisasi dan pemahaman yang berbeda mengenai punk, terdapat sebuah persamaan yang disetujui oleh sebagian besar pengikut gerakan ini, yakni sebuah gerakan perlawanan terhadap norma-norma sosial mengekang, komodifikasi akan materi, status quo, liberasi kaum termarjinalkan, dan juga kesadaran kelas.

Indonesia sendiri memiliki sejarah pergerakan subkultur punk yang cukup unik dengan negara-negara lainnya, walaupun gerakannya memiliki kesamaan dengan gerakan punk lain di seluruh dunia. Kota Bandung adalah salah satu kota yang identik dengan eksistensi komunitas punk di skenario jalanannya.

Dari tulisan ini kita dapat buktikan bahwa punk lebih dari hanya sekadar musik semata. Punk juga bukan hanyalah suatu gerakan keonaran dan pemberontakan, jaket kulit dan rambut mohawk, anarkisme dan teriakan, melainkan sebuah manifestasi akan luapan amarah atas kondisi sosial yang terjadi di sekitar masyarakat.

Punk juga bukan hanya gerakan estetika berpakaian. Punk adalah suatu realitas lebih dari hanya musik semata. Punk adalah manifestasi ide, ideologi, paham, musik, dan sebuah komunitas kolektif bagi banyak individu. Sudah saatnya kita untuk lebih mengapresiasi subkultur-subkultur yang ada tanpa prasangka buruk yang mengikutinya.

Mengenai tulisan ini

Tulisan ini merupakan bagian dari esai yang telah disederhanakan yang sebelumnya saya kumpulkan kepada Departemen Pengkajian dan Materi Ikatan Kekerabatan Sastra Slavia Universitas Indonesia sebagai bagian dari rekruitmen anggota departemen dan workshop kepenulisan dari departemen.

Daftar Referensi

Anissa, Anna, dkk. “Fenomena Remaja Punk Ditinjau dari Konsep Person in Environment (Studi Deskriptif di Komunitas Heaven Holic Kota Bandung)”. Prosiding KS: Riset & PKM. Vol. 3, №1. N.d.. pp. 19–22.

Cullen, Jim. 1996. The Art of Democracy: A Concise History of Popular Culture in the United States. Monthly Review Press: New York.

Dalam http://etheses.uin-malang.ac.id/2621/3/09410151_Bab_2.pdf. Diakses 3 Maret 2020.

Dalam http://publikasi.dinus.ac.id/index.php/andharupa/article/view/964/730. Diakses 3 Maret 2020.

Henry, Tricia. 1989. Break All Rules! Punk Rock and the Making of a Style. UMI Research Press: Ann Arbor.

Leblanc, Lauraine. 1999. Pretty in Punk: Girls’ Gender Resistance in a Boys’ Subculture. Rutgers University Press: New Brunswick.

Nando. 2008. Rebel 35 Band Punk Paling Berpengaruh. Narasi: Jakarta.

Pickles, Joanna Margaret. 2000. Dari Subkultur ke Budaya Perlawanan : Aspirasi dan Pemikiran Sebagian Kaum Punk/Hardcore dan Skinhead di Yogyakarta dan Bandung. Universitas Muhammadiyah: Malang.

Sabin, Roger. 2002. Punk Rock: So What?: The Cultural Legacy of Punk. Routledge: New York.

Thorne, Tony. 1993. Kultus Underground Ensiklopedia Subkultur Kaum Muda. Adhe. 2019. Immortal Publishing dan Octopus: Yogyakarta.

Williams, J. 2016. Authenticity in Culture, Self, and Society. Routledge: New York.

--

--

Qaulan M. Indra

Mahasiswa linguistik yang antusias terhadap dunia kebahasaan, kebudayaan, dan isu sosial